Fenomena Kolom “Kepercayaan terhadap Tuhan YME” di Indonesia: Antara Hak Konstitusional dan Kebangkitan Spiritual Lokal

Selama puluhan tahun, pencatatan identitas di Indonesia hanya mengenal enam agama resmi: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Hal ini membuat kelompok penghayat kepercayaan seperti Sunda Wiwitan, Marapu, Parmalim, atau Kejawen terpaksa memilih agama formal demi mendapatkan hak-hak sipil—mulai dari pembuatan KTP, pencatatan pernikahan, hingga pendidikan dan pekerjaan. Akibatnya, banyak yang merasa terasing dari keyakinan leluhurnya sendiri.

Situasi ini berubah setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang menegaskan bahwa penghayat kepercayaan memiliki hak konstitusional untuk dicatatkan dalam kolom tersendiri di e-KTP, yaitu “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Putusan ini lahir dari gugatan empat penghayat kepercayaan yang menilai kebijakan lama diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan di UUD 1945.

Mengapa Banyak yang Beralih?

Beralih ke kolom “Kepercayaan terhadap Tuhan YME” tidak sekadar urusan administratif. Bagi sebagian orang, ini adalah langkah untuk:

  1. Mengembalikan identitas spiritual leluhur yang selama ini terpinggirkan oleh narasi agama formal.
  2. Menghindari dogma yang dianggap kaku dan tidak lagi relevan dengan pengalaman hidup pribadi.
  3. Mencari ruang iman yang inklusif, yang memadukan nilai-nilai lokal, kebijaksanaan tradisional, dan spiritualitas universal.

Di sisi lain, fenomena ini juga dipicu oleh meningkatnya minat generasi muda terhadap kearifan lokal, arkeologi budaya, dan praktik spiritual yang lebih berakar pada alam. Media sosial turut mempercepat pertukaran pengetahuan tentang tradisi ini, membuatnya lebih mudah diakses oleh publik.

Dampak Sosial dan Hukum

Pengakuan resmi ini membuka jalan bagi:

  • Hak administratif penuh: menikah, mengurus dokumen, dan bersekolah tanpa harus mengaku menganut agama yang berbeda.
  • Penghormatan terhadap keberagaman sebagai bagian dari implementasi Bhinneka Tunggal Ika.
  • Pendidikan toleransi yang lebih luas, karena kurikulum mulai memperhitungkan keberadaan penghayat kepercayaan.

Meski demikian, tantangan tetap ada. Masih ditemukan diskriminasi di lapangan, seperti penolakan pencatatan nikah atau kesulitan dalam pelayanan publik karena minimnya pemahaman aparat.

Perspektif Spiritualitas Universal

Menariknya, nilai yang diusung oleh penghayat kepercayaan lokal memiliki kesamaan dengan prinsip dalam berbagai ajaran spiritual dunia. Dalam Kalama Sutta, Buddha mengajarkan untuk tidak menerima ajaran hanya karena tradisi atau otoritas, tetapi untuk mengujinya melalui pengalaman langsung dan dampaknya bagi kebaikan. Prinsip ini selaras dengan semangat penghayat kepercayaan yang menekankan praktik nyata, harmoni dengan alam, dan hubungan personal dengan Yang Ilahi.

Bahkan dalam studi antropologi agama, penghayat kepercayaan lokal sering dipandang sebagai penjaga kearifan ekologis dan identitas budaya. Mereka tidak hanya menjaga ritus keagamaan, tetapi juga mengatur tata cara bercocok tanam, pelestarian hutan, dan sistem sosial berbasis gotong royong.

Menuju Kedewasaan Spiritual Bangsa

Fenomena ini bukanlah ancaman bagi keberadaan agama resmi, melainkan peluang untuk menunjukkan kedewasaan spiritual bangsa. Dengan mengakui keberagaman iman, Indonesia menegaskan bahwa kekuatan bangsa justru terletak pada kemampuannya merangkul perbedaan.

Pada akhirnya, kolom “Kepercayaan terhadap Tuhan YME” bukan hanya soal huruf di KTP, tetapi simbol perlawanan terhadap homogenisasi keyakinan, dan langkah menuju kehidupan berbangsa yang lebih inklusif, adil, dan selaras dengan akar budaya.

101 thoughts on “Fenomena Kolom “Kepercayaan terhadap Tuhan YME” di Indonesia: Antara Hak Konstitusional dan Kebangkitan Spiritual Lokal

Leave a Reply to Charlie205 Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *